Penulis                            : Darmaningtyas

Judul buku                     : Pendidikan rusak-rusakan

Tebal                               : 360 Halaman

Cetakan                          : V

Penerbit                         : LKiS

Tahun                             : 2005

Pendidikan merupakan sarana dalam mengantarkan kehidupan berbangsa bernegara agar cerdas dan berkemajuan. Pendidikan menjadi fasilitator yang mampu mengangkat derajat generasi bangsa menjadi lebih baik. Menjamurnya lembaga pendidikan di belantika tanah air menjadi bukti nyata bahwa pendidikan memberikan harapan, pencerahan dan cita cita luhur seseorang di masa yang akan datang. Tak terkecuali masa depan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Tapi apalah daya, fenomena pendidikan acapkali membuat hati nurani kita sebagai insan berpendidikan teriris-iris. Fenomena demi fenomena yang mengatasnamakan oknum Pendidikan merusak sistem, mencederai esensi Pendidikan dan menarasian kegagalan pendidikan dengan cara dan aksi heroiknya yang bertolak belakangan dengan tatanan dan cita-cita luhur para tokoh bangsa. Nah, Apakah kita pernah membayangkan bagaimana jadinya pendidikan malah menciptakan generasi tidak cerdas, tidak mengenal empati maupun simpati bahkan lebih parahnya pendidikan menjadi mainan semata dengan berbagai persoalan yang datang bahkan tak kunjung selesai. Bagaimana jadinya Pendidikan menjadi garda terdepan dalam merusak moral anak bangsa. Aneh bukan ? hehe

Dalam buku ini, diuraikan bagaimana pendidikan mengalami disorientasi di berbagai hal. Mulai dari sarana prasarana, output pendidikan dengan kehadiran lembaga pendidikan yang dianggap gagal, problem anggaran, reformasi yang katanya tidak kunjung selesai, marjinalisasi guru agama dan formal, kurikulm berbasis kompetensi, peningkatan jenjang karir guru, guru dengan segala sanksi administrasinya dan wajah pendidikan di daerah perbatasan yang semakin ironis bahkan menyedihkan sekali.

Pendidikan dan problem anggaran menjadi aspek yang seringkali menjadi sasaran buruknya pendidikan. Keluhan tentang kecilnya anggaran seakan-akan meniadakan unsur-unsur lain yang cukup signifikan dalam memberikan kontribusi besar terhadap buruknya sistem pendidikan nasional seperti lemahnya kemauan pengelolaan pendidikan nasional meliputi lemahnya manajerial di bidang keuangan (hlm 06). Anggaran yang menurut hemat penulis setiap tahun selalu naik bahkan data terbaru menyebutkan anggaran untuk pendidikan tahun 2022 sebesar 621,3 Triliyun melonjak jauh dibanding  tahun sebelumnya yang mencapai kisaran 78,5 triliyun. Harusnya dengan peningkatan anggaran yang tinggi mampu memberikan pelayanan maksimal,fasilitas dan peningkatan mutu maupun kompetensi pendidikan dan pendidik ke arah yang lebih baik. Harapannya demikian, bukan ?

Tidak sampai disitu, Darmaningtyas dalam bukunya mengurai bahwa anggaran pendidikan yang tinggi tidak otomatis akan meningkatkam mutu pendidikan nasional bila tidak ditunjang oleh kenaikan anggaran bidang lain terutama yang berkaitan langsung dengan proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah. Pembangunan insfrastruktur sekolah di berbagai daerah menjadi tugas serius pemerintah setempat bersinergi dengan pemerintah pusat untuk hadir di daerah perbatasan maupun daerah pelosk negeri tercinta ini.

Disamping persoalan anggaran, persoalan kemauan serta kemampuan pemerintah dalam membiayai pendidikan menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Kemauan-kemampuan yang tidak di dukung dengan potensi yang baik mengakibatkan kualitas stake holder kurang bekerja secara professional. Ditambah kurangnya memiliki Sense of Crisis  dengan maraknya gaya hidup sebagaian besar aparat pemerintah yang masih terlihat bermewah-mewahan, berlumuran uang dan hanya memburu rente untuk memperkaya diri sendiri. Gaya hidup korup dan serakah itu tidak hanya diperlihatkan oleh Eksekutif melainkan Legislatif yang semula diharapkan mampu menjadi penyalur aspirasi warga tertindas. (hlm, 20)

Selain persoalan anggaran dan akses, Darmaningtyas mengurai betapa kakunya kurikulum pendidikan di Indonesia. Perubahan kurikulum yang lebih ramping seperti dijanjikan pada masa awal reformasi sampai sekarang juga belum terjadi. Praktis, tidak ada perubahan substansial dalam bidang kurikulum. Materi pelajaran termasuk pelajaran sejarah nasional yang diberikan pasa masa sebelum dan sesudah reformasi masih tetap sama. Penyebabnya adalah kebijakan yang masih sentralistik dengan segala logika logika dasar yang dibangun antara pemerintah pusat dengan daerah sehingga muncul istilah ketidaksinkronan kebijakan antara pusat dengan daerah.

Saya khawatir pendidikan yang disebutkan oleh darmaningtyas formulasinya sangat moralistik tetapi faktanya jauh dari kata moral. Bahkan menjadi sebab sumbangan terbesar terjadinya konflik horizontal akibat kekeliruan dalam menanamkan pendidikan yang humanis atau pendidikan kritis. Bukan malah sebaliknya dengan memberikan definisi perbedaan dengan cara mempertajam skat dan kotak-kotakan dalam segala aspek kehidupan.

Perbedaan demikian tentu saja membuat pendidikan semakin jauh dari esensi pendidikan yang sesungguhnya. Esensi pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara yaitu pendidikan yang memerdekakan dengan tujuan agar peserta didik mampu memilih menjadi apa dan siapa saja tanpa himpitan tekanan maupun tuntutan mengelilinginya. Karena kebebasan yang diperoleh merupakan apresiasi tertinggi bagi dirinya sebagai manusia merdeka.

Tidak berlebihan jika Paulo Freire mengingatkan bahwa pendidikan kritis-merdeka bukanlah sebuah metode. Melainkan suatu ideologi. Karena bukan metode maka salah besar jika orang ingin memperoleh metode pendidikan kritis. Kritis tercermin dari substansi yang disampaikan. Apa sebab ? metode pendidikan kaum dewasa (andragogi) belum tentu melahirkan masyarakat yang kritis bila substansi yang disampaikan adalah substansi yang mendukung ide neoliberalisme pendidikan.

Pada akhir tulisan ini, bagaimanapun pendidikan Indonesia, tetap saja memberikan kualitas hidup yang baik. Pendidikan dengan segala problematikanya mengantarkan kita untuk memiliki karakter yang kuat dan berakhlak mulia. Itulah ekspektasi kita sebagai masyarakat Indonesia pada kehadiran Lembaga pendidikan. Pendidikan itu candu, mampu membuat mereka yang berpendidikan menjadi lebih bermakna dan lebih baik. Wallahu A’lam.

Identitas Peresensi

Nama                               : Eko David Syifaur Rohman

Status                               : Staff Pengajar di MBI Amanatul Ummah Pusat Pacet Mojokerto

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *