Judul Buku                : Para Nabi dalam Botol Anggur

Penulis                       : Ach Dhofir Zuhry

Tahun                          : 2011

Penerbit                      : Beranda

Jumlah halaman       : 219

Peresensi                     : Eko David SR

Realitas kehidupan acapkali membuat seseorang tersipu malu, porak-poranda Langkah tingkah lakunya bahkan terseok seok dengan kompleksitas kehidupan yang datang silih berganti. Persoalan demi persoalan menjadikan manusia semakin menemukan bentuknya paling ideal, yaitu manusia tanpa jatidiri. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai ciptaan paling sempurna semakin kesini semakin menistakan dirinya dengan perilaku a moralnya. Pun juga ada segelintir orang yang secara gradual menyempurnakan perannya sebagai khalifatullah fil ardhi. Mereka inilah yang disebut oleh sang bijak bestari sebagai Insan Kamil.

Kitab suci Al Quran sering membicarakan sejatinya manusia mempunyai dua sisi karakter yang berbeda. Satu sisi bisa berubah wujud sifat dan perilaku seperti malaikat dengan sesame, saling kasih mengasihi, tolong menolong bahkan cinta mencintai. Pun sebaliknya, bisa berubah seperti iblis dengan segala sebab musabab yang melatarbelakanginya. Tidak hanya itu, Kanjeng Nabi Muhammad saw telah memberikan bimbingan spiritual kepada segenap manusia tentang bagaimana menjadi manusia yang ideal dan bermaratabat.

Itulah secuail potret narasi dalam buku karya sastrawan, cendekiawan muda dari Kepanjen Malang dengan judul Para Nabi dalam botol anggur. Kumpulan cerpen tersebut menyuguhkan banyak pelajaran tentang makna kehidupan yang dijalani manusia. Banyak aspek yang dapat kita ambil hikmah dari setiap resiko perbuatan yang dilakukan. Mulai relasi manusia dengan hati Nurani, dekadensi moral dan akhlak manusia, realitas politik-kekuasaan yang menggurita, hubungan aspek sosial dengan aspek spiritual, fakta sejarah yang berat-memilukan dan intimitas agama sebagai lahan basah dalam melegitimasi kepentingan manusia.

Dalam kacamata dhofir, satu hal yang membuat saya berdecak kagum sekaligus merasa miris adalah bagaimana penulis memberikan narasi tentang media elektronik bahwa media elektronik menjadi episentrum zaman ini telah berhasil serta sukses menjual mimpi, angan maupun imajinasi dengan mengorbitkan tokoh tokoh dan figure karbitan sekalipun tidak semuanya karbitan. Pada titik inilah, dhofir memberikan justifikasi moral bahwa teknologi menjadi alat ukur moral dalam menentukan berbagai pilihan khususnya dalam melihat role model /panutan manusia abad ini. miris bukan ?

Tidak sampai disitu, penulis juga mendeskripsikan bagaimana amsal (perumpamaan) tokoh agama era sekarang ini. Dalam refleksinya, status sebagai tokoh agama tidak menjamin dan menjadi kontrol bagi seseorang untuk menyelamatkan dirinya dari dusta dan dosa. Pendeknya, kita sangat sering menjumpai fakta sosial bahwa oknum pemuka agama acapkali menistakan dan menghancurkan nilai nilai normatif agama, menjual dan mengkapitalisasi ayat ayat Tuhan untuk kepentingan perut saja.

Aspek tasawuf pun ikut dalam refleksinya. “aku banyak belajar darimu Mas. Kemandirianmu dan cara pandang yang progresif, cinta yang tulus hati, semua itu memantik kelenjar semangatku, merangsang reseptor rendah hatiku untuk selalu sabar dan bersyukur. Aku terus belajar dalam qiyamul lail atas kecerobohanku, tahajud sebagai refleksi diri, sholat hajat sebagai pendewasaan diri, istikhoroh sebagai suksesi kehidupan dan witir sebagai kemuliaan hidup”. Dalam bait bait kalimat diatas, jelas sekali terselip bagaimana penulis menghadirkan beberapa tema dalam kajian tasawuf duduk sejajar dengan realitas kehidupan ini.

Imajinasi dhofir semakin menjadi jadi tatkala berbicara tentang persoalan bangsa Indonesia. Betapapun masalah yang ditimbulkan oleh oknum tak bertanggungjawab untuk merubah sistem NKRI, disana pula tercipta sistem yang sistemik dalam meraup rupiah menggunakan istilah atasnama bangsa dan negara. Tidak sedikit dari manusia di negeri kita yang memerangi penggusuran dengan cara menggusur, memerangi kebodohan dengan cara membodohi, maju dengan cara menjual diri, mengutuk penguasa dengan ganti menguasai dan seterusnya.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika buku kumpulan cerpen ini menggambarkan representasi keluasan wawasan penulis, pergumulan sosial historis yang sarat makna, pertautan filsafat dan tasawuf serta keakraban dhofir sebagai penulis dengan realitas denyut kehidupan. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *