Oleh : Mujahidin Nur, Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia, Jakarta
Konflik dan kekerasan di wilayah Nduga, Maybrat, Intan Jaya, Puncak Jaya dan Yahukimo, Papua, bak siklus yang tiada pernah berakhir. Kekerasan demi kekerasan saling meningkahi selama berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa diketahui kapan akan usai. Tak terhitung jumlah korban jiwa baik itu dari TNI/Polri, masyarakat Sipil maupun dari kelompok OPM. Sehingga, mempertebal catatan hitam mengenai tragedi kemanusiaan di pulau Cendrawasih ini.
Disadari atau tidak konflik dan kekerasan di pulau yang mendapat julukan surga kecil ini, dalam istilah neuroscience akan menyisakan memori kolektif yang mengakar di benak penduduknya. Hal itu, menyebabkan apa yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai mental health problem; perasaan teralinasi (terasingkan), pengalaman traumatis, pesimisme, kemarahan, ketidakpercayaan, dan lain-lain menjadi bagian tak terpisahkan yang pada akhirnya membentuk cara berpikir, bersikap dan cara pandang masyarakat yang dihuni oleh mayoritas etnis Melanesia ini.
Untuk mereduksi efek dari kekerasan pada psikologis masyarakat Papua yang didera konflik tentu dibutuhkan sebuah upaya masif dan kontinyu salah satunya dengan mengkampanyekan Peace Literacy (Literasi Perdamaian). Sebuah upaya yang dalam bahasa Maulana Jalaludin Arrumi bertujuan untuk memasukan ‘Cahaya’ dan menyemaikan sifat Arohman (Yang Maha Pengasih) dan Arohim (Yang Maha Penyayang) ke dalam hati dan pikiran manusia. Karena dengan ‘Cahaya’ Tuhan tujuan literasi perdamaian untuk membangun Papua yang lebih damai, tenang dan kondusif akan terwujud. Literasi perdamaian yang diharapkan mampu membentuk manusia-manusia yang mempunyai ruh yang menjunjung tinggi humanisme (insaniyah), cinta (hub) dan keadilan (‘adalah) sebagai upaya untuk menciptakan atmosfir kehidupan di Papua yang sejuk, tenang dan membahagiakan.
Saya pun melakukan pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat di Papua mensosialisikan ide ini baik ke tokoh-tokoh gereja, NGO, aktifis HAM dan lain-lain kemudian dilanjutkan dengan melakukan kerjasama dengan komunitas literasi di Papua ; Mage Papua, milik sahabat saya, Maiton Gurik, KOSAPA yang dipimpin oleh sahabat Hengky Yeimo, juga Parapara Buku. Walau sejatinya ide membangun peace literacy ini bukanlah ide yang murni muncul dalam pemikiran saya. Ide ini saya adopsi dari Paul K. Chappell, seorang aktifis literasi perdamaian internasional, penulis, dan pendiri komunitas Peace Literacy itu sendiri. Paul K. Chappel dibesarkan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan di Alabama. Ibunya merupakan perempuan berkebangsaan Korea, sementara ayahnya merupakan laki-laki keturunan Afrika yang pernah terlibat dua kali peperangan ; Korea dan Vietnam.
Pengalaman-pengalaman traumatis di medan perang pada akhirnya memaksa Paul K Chappel untuk menempa pemahaman barunya tentang perang, perdamaian, kemarahan, trauma, dan kemanusiaan. Setelah lulus dari West Point, Chappell diutus berperang ke Irak, namun kemudian ia memilih meninggalkan tugas aktifnya sebagai seorang Kapten. Saat ia melihat konflik dan peperangan di Irak, ia menyadari bahwa umat manusia sedang menghadapi tantangan baru yang mengharuskan kita berjuang untuk menegakkan perdamaian.
Pengalamannya berada di medan perang selama berada di Irak, menginspirasi Chappell untuk menciptakan komunitas Literasi Perdamaian. Ia mengajar dan membantu siswa/i dan orang dewasa, dari semua latar belakang dan pekerjaan, untuk memaksimalkan potensi mereka untuk mewujudkan dunia yang lebih damai. Visi misi komunitas Literasi Perdamaian Chappell ini berusaha membingkai perdamaian bukan hanya sebagai tujuan, tetapi sebagai keahlian praktis.
Keahlian praktis disini maksudnya adalah keahlian literasi seperti membaca dan menulis, yang perlu diajarkan dan dipraktikkan sejak dari jenjang Pendidikan Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi. Literasi Perdamaian bekerja untuk memberdayakan semua orang sehingga mampu terlibat aktif dalam menciptakan perdamaian yang lebih realistis, tangguh, dan berkelanjutan.
Literasi Perdamaian yang dibentuk Chappel juga membantu siswa/i mengembangkan kapasitas penuh mereka untuk menjadi umat manusia yang memiliki empati tinggi, hati nurani murni, alasan logis, dan harapan rasional yang berbasis bukt-bukti empirik. Jadi, Literasi Perdamaian tidak saja melulu urusan intelektualitas karena tujuan utama literasi perdamaian adalah untuk membangun hati nurani manusia yang dipenuhi cita-cita dan perjuangan mewujudkan perdamaian dunia.
Dalam konteks ini, saya mengadopsi ide Chappel dan mulai memperkenalkan Literasi Perdamaian di Papua yang akan saya kembangkan secara massif. Saya bermimpi suatu hari nanti literasi perdamaian akan mampu membingkai persoalan-persolan pelik di Papu dengan prespektif yang lebih humanis, empatik, dan damai. Tentu saja, semua orang terlepas dari back ground dan keahliannya; ilmuan, peneliti, wartawan, dosen, agamawan dan semua pihak dapat berkontribusi pada upaya perdamaian di Papua melalui pemroduksian literasi yang satu frekuensi dengan Peace Literacy Institute Indonesia.
Dalam sebuah artikel Toward Peace: Using Literature to Aid Conflict Resolution yang ditulis oleh Jennifer L. Luke dan Catherine M. Myers (2012), Luke dan Myers mengatakan, budaya damai dapat diciptakan melalui literatur, sehingga orang akan lebih terdorong melawan terorisme, konflik dan kekerasan di seluruh dunia melalui literasi. Karena perdamaian adalah tindakan dan tindakan lahir dari pikiran. Disinilah korelasi bahwa literasi dapat menciptakan tindakan manusia yang pro-perdamaian sejak dalam pikiran.
Dalam kaitannya dengan permasalahan Papua, literasi perdamaian yang diproduksi di Papua harus mampu memperkokoh bangunan kebudayaan damai kita. Bukan sebaliknya. Karenanya, spirit Literasi Perdamaian harus dikampanyekan seperti yang disampaikan oleh Paul K. Chappell, bahwa kita harus mengobarkan perdamaian sebagaimana pasukan tempur yang mengobarkan perang. Artinya, perjuangan menegakkan perdamaian sama dengan peperangan. Terlalu banyak musuh yang merusak perdamaian baik secara langsung maupun melalui literasi.
Peace Literacy Institute Indonesia akan memberikan apresiasi pada aktifis-aktifis literasi yang membangun jembatan perdamaian melalui karya mereka; Elisabeth Lenny Marit dan Hugo Warami (2018) dalam tulisannya Wacana Papua Tanah Damai dalam Bingkai Otonomi Khusus Papua; Untung Suropati (2019) dalam tulisannya Solusi Komprehensif Menuju Papua Baru: Penyelesaian Konflik Papua Secara Damai, Adil dan Bermartabat; Binsar Sianipar dan Amanah Nurish (2021) dalam tulisannya Merauke “Food Estate”: Alternatif Penanganan Konflik di Papua dalam Perspektif Ekonomi-Sosial dan Budaya; dan masih banyak lainnya.
Naveed Akram, seorang pujangga dan aktifis literasi perdamaian dalam sebuah puisinya mengatakan, “ When atrocities are in the house of never land, fought are the priest we stole from the sand, of the desert, and the land of snow as they are cold and heavy with reward. My sentence is small and tall like poem, of great wonder and deceit.
Ketika kemanusiaan tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan manusia maka perjuangan untuk menjaga kemanusiaan seperti perjuangan di tengah gurun pasir yang tandus dan gersang atau perjuangan di tengah gumpalan salju yang dingin membeku. Kita merasa sendirian dan kalimat kita tidak didengar oleh orang lain karena tidak ada lagi orang yang memerdulikannya.
Dalam konteks ini, pemroduksian literasi perdamaian secara kolektif sangat menentukan berhasil tidaknya upaya menjaga nilai kemanusiaan di Papua. Jika produksi literasi yang pro-konflik dan kekerasan lebih masif, kontinyu dan lebih dominan daripada produksi literasi damai, maka budaya damai akan terkikis sehingga upaya untuk menjaga kemanusiaan di Papua akan semakin sulit. Untuk itulah, produksi literasi damai harus lebih ditingkatkan, sehingga impian mewujudkan literasi perdamaian sebagai penjaga martabat, cinta dan kemanusiaan di Papua bisa terealisasi. Disamping untuk kita, perjuangan kemanusiaan ini hasilnya akan dirasakan oleh anak cucu kita, kelak, suatu hari nanti. Semoga![]