dawuhguru.com – “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”, demikian tema itu berbunyi. Menurut Menteri Agama RI Gus Yaqut, Hari Santri momentum mengakui jasa para santri, sekaligus menempa diri mengukir prestasi.
Tema di atas tidak mengada-ngada. Juga demikian seruannya. Realitas sejarah memperlihatkan detak perjuangan santri yang dalam demi kedaulatan. Sebab masa kini dan masa depan, membentangkan tantangan dan membutuhkan jawaban; oleh siapa pun, terlebih bagi santri.
Sederet pigura yang menempel di dinding sejarah, membingkai lukisan wajah KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, KH Zainal Arifin, KH Zainal Mustafa, KH Noer Ali hingga Pangeran Diponegoro jebolan Pondok Pesantren Gebang Tinanar, Ponorogo, asuhan Kiai Hasan Besari menurut Peter Carey.
Sosok lain, seperti Nyai Djuwaesih dan Nyai Siti Saroh melengkapi aktivisme perjuangan yang memperlihatkan keberpihakan. Keduanya, dalam pandangan Gus Yahya, sosok perempuan yang menggemakan kesetaraan hak-hak perempuan tentang pendidikan. Keduanya menyerukan perihal itu dalam Muktamar di Menes tahun 1938.
Pun setelahnya, para santri memberikan teladan menjaga dan membingkai kedaulatan. Barangkali kita bisa melihat sosok KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menjadi salah satu muazin kemanusiaan yang paling lantang.
Perjuangan para santri tidak lepas dari konstruksi pemikiran dan khazanah keilmuan pesantren. Apa yang diajarkan para kiai dalam pesantern seperti fiqh menampilkan kepedulian yang sangat besar terhadap unsur-unsur utama dalam kemanusiaan (al-insaniyah). Dan Gus Dur, menurut Zainal Bahri, melihat pada ilmu-ilmu tersebut terdapat prinsip-prinsip pokok yang mendukung kemanusiaan.
Untuk Kemanusiaan
Begitu besarnya perjuangan kemanusiaan yang dilakukan oleh para pendahulu. Gerakan dan pemikiran mereka tidak setengah-tengah. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, memancar sebagai pesan yang musti dipegang oleh mereka, para penerusnya.
Pertanyaannya, bagaimana hendak melanjutkannya? Kita mungkin sudah paham, bahwa zaman begitu cepat berubah dengan langgam ketidakpastiaan. Ada sederet temuan revolusioner yang agung di masa kini, tapi di sisi yang lain ada kemelut kalut yang mencengkramnya.
Meminjam Giddens, kita hidup dalam pusaran masyarakat yang penuh risiko. Sistem dan tatanan kepercayaan yang absurd. Kemanusiaan yang kadang, dicongkel oleh ego identitas sosial. Muncul teriakan-teriakan sistem ketatanegaraan Islam, memaksakan kehendak melalui pembenaran-pembenaran masa lalu, hingga praktik diskriminasi dilakukan dengan telanjang.
Revolusi digital menghantarkan manusia pada era yang tidak dapat diprediksi. Terhubung sebab seleksi algoritma, bukan kehendak rasa dan pikiran. Ekonomi mengalami transformasi, tapi kadang luput dari subtansi kesejahteraan.
Di tengah ketidakpastian itu, selalu muncul keinginan-keinginan dan harapan. Berusaha menghadirkan solusi. PBNU dengan aktor utamanya, jebolan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta itu, mengurai benang kusut kemelut global itu. Ada kehendak besar untuk mengurainya, dan menghadirkan khazanah sekaligus laku ‘subkultur’ sebagai lokus menciptakan peradaban baru.
Gus Yahya, sosok itu, melulu membentangkan pemikiran para pendahulu. KH Wahab Chasbullah dengan kepekaan strategisnya setelah keruntuhan Utsmani, hingga Achmad Siddiq melalui konsep trilogi persaudaraannya. Dan menariknya, dikontekskan dengan kebutuhan sekarang.
Sumbangsih lainnya, di tengah bencana global Covid-19 – termasuk Indonesia, sosok Ainun Najib muncul dengan inisiasi yang sangat besar. Memanfaatkan teknologi, menggabungkan para relawan untuk bersama-sama menyediakan informasi seputar Covid-19.
Pesantren ekologi Ath Thaariq yang didirikan Nisya Saadah Wargadipura mampu menghadirkan ilmu agama, sekaligus mengembangkan kepedulian terhadap lingkungan.
Pengalaman pribadinya, ia bulatkan memberikan edukasi agar manusia melakukan komunikasi yang baik dengan alam. Tepat di tahun 2008, pesantren itu berdiri di Kampung Cimurgul, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Serta banyak hal lainnya. Tunas-tunas pemikiran dan laku santri yang masih terselip kami tulis. Untuk kita belajar, untuk disiarkan, bahwa santri melulu berdampingan dengan nilai-nilai kemanusian.
*Edisi Memperingati Hari Santri 2022